Jumat, 02 November 2012

ibad, sang hamba...


Ibad, Sang Hamba.
                Sebuah dusun terpencil, dengan Kepala Dusun yang semena-mena. Di zaman modern ini masyarakat dusun itu masih saja bersikap kuno, percaya saja dengan hukum darah dibayar darah dan apalah lagi sebutannya. Benar mereka makmur, tapi jngankan mendengar adzan berkumandang, Tuhan saja mereka masih menyembah patung, lengkap dengan sesaji dan segala macam isinya.
Dusun yang sangat terpencil, mungkin mereka terlalu lugu atau terlalu takut menentang, entahlah, tapi mereka terima saja dengan kenyataan bahwa Kepala Dusunlah yang paling berkuasa, tak ada yang boleh menentangnya. Suatu hari Kepala Dusun bermimpi bahwa ada seorang anak yang akan melengserkan jabatannya. Ah, Kepala Dusun, Kau pasti terlalu banyak berkHayal, sampai-sampai Kau memerintahkan rakyatmu untuk membunuh setiap anak laki-laki. Kau pikir kau siapa? Bersikap macam Raja Fir’aun saja.
©©©
                Aya berjalan mengendap-endap, seolah-olah takut ada yang mengetahui apa yang ia kerjakan. Azam suaminya, mengikuti di belakangnya. Malam ini mereka masuk ke dalam hutan, hutan yang sekiranya dapat melindungi mereka dari kejaran kepala dusun. Memangnya ada yang lebih pelosok dari dusun terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kota? Entahlah.
                Setelah masuk ke hutan Azam mencari tempat berteduh, akan tetapi sejauh mata memandang hanya pohon-pohon tinggi menjulang yang ada. Terpaksa Azam meninggalkan Aya di sebuah gua, tentu saja bersama anak pertama mereka, untuk apa mereka pergi dari kehidupan dusun malam-malam begini kalau bukan anak laki-laki mereka. Ibad.
                “Sebaiknya kau tinggal disini sampai ia menjadi pemuda tanggung”Ujar Azam pada istrinya.
                “Lalu sekarang apa kau hendak meninggalkan kami di sini?”Tanya aya kepada suaminya.
                “Tidak, tidak sekarang. Saat fajar tiba aku akan kembali ke dusun untuk bekerja. Saat malam beranjak aku akan kembali kesini membawa makanan untuk kalian.”Jawab Azam kemudian.
                Ayapun menghela nafas, lega.
©©©
                9 tahun berlalu, Ibad tumbuh menjadi anak yang cerdas. Malam ini Ibad sudah menunggu Ayahnya di mulut gua. Sendirian. Ibunya sudah lama meninggal, saat ia berumur 7 tahun. Ibad menunggu Ayahnya saat malam beranjak, selalu sendiri selama dua tahun terakhir. Untuk mengisi keheningan Ibad sering kali berfikir atas jawaban yang ia simpan sedari kecil.
                Kenapa ia hidup di dalam gua? Itu adalah pertanyaan pertama. Padahal Ayahnya selalu pergi ke dusun saat fajar terbit, kemungkinan-kemungkinan itu muncul membuatnya enggan memikirkan jawabannya. Pertanyaan kedua berkaitan dengan hidupnya saat iunya masih ada; ibunya selalu berdoa kepada patung yang di pahat Ayahnya sendiri. Saat ia bertanya pada ibunya,  ibunya hanya menjawab itu adalah tuhan. jika kau ingin meminta sesuatu, mintalah kepadanya. Ibad tak habis piker, bagaimana mungkin sebuah patung yang tak bergerak dapat menjadi tuhan yang mengabulkan keinginan?
                “Pasti Tuhan yang sesungguhnya Hebat.”Gumam Ibad pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian Ayahnya datang. Ibad memeluk Ayahnya, kemudian menyiapkan makanan yang dibawakan Ayahnya dari dusun
“Ayah, boleh aku bertanya?”ujar Ibad memecah keheningan. Ayahnya hanya mengangguk.
“Kapan aku boleh ikut Ayah ke dusun?”
Ayah Ibad langsung menghentikan makannya. Bernafas sejenak, kemudian melanjutkannya kembali. Ibad hanya diam, tak berani menuntut jawaban. Sampai acara makan selesai, keduanya hanya terdiam. Ibad segera merapikan piring bekas makan, kemudian kembali ke tempat Ayahnya.
“Sepertinya malam ini kau harus tahu yang sebenarnya”
Ibad hanya terdiam, menunggu Ayahnya melanjutkan.
“Kami, Ayah dan ibumu, adalah orang yang taat aturan, tapi suatu hari, saat ibu melahirkan dirimu, kami kaget, karena yang dilahirkan adalah bayi laki-laki, sedangkan Kepla Dusun mengharuskan setiap anak laki-laki dibunuh, disebabkan oleh mimpinya.”
“Siapa Kepala Dusun itu? Apakah ia yang paling berkuasa?”Tanya Ibad.
Ayahnya mengangguk. “Dia yang paling berkuasa di dusun, tak ada yang bisa menentangnya, kami memujanya bagaikan tuhan kedua.”
©©©
                Esok paginya Ibad melepas kepergian Ayahnya, tapi ia masih memikirkah cerita Ayahnya tadi malam. “Tuhan kedua?”gumam Ibad, “Yang satu untuk meminta, yang satu untuk mengatur.” Ibad berhenti sejenak. “kalau memang berkuasa, kenapa tidak mengabulkan dan mengatur sekaligus?” Ibad menatap langit, dari sela-sela dedaunan pohon yang menjulang tinggi. CaHaya matahari menerpa wajahnya. Ia menikmatinya sambil memejamkan mata.
                “Matahari… bukankah matahari selalu terbit dari timur dan terbenam di barat? Pasti semua itu ada yang mengaturnya.” Ibad terdiam, kemudian tersenyum, “aku mengerti, Tuhan yang sesungguhnya pasti Yang Mengatur semua ini, Menciptakan, dan tentu saja Mengabulkan setiap keinginan. Tapi, siapa Dia?” Ibad kembali merenung.
                Semakin lama ia berfikir, tak pernah terbesit di benaknya wajah Sang Tuhan, hingga akhirnya Ibad jenuh juga, ”Ah, yang jelas Tuhan itu bukan Si Kepala Dusun.”
©©©
                Matahari telah tenggelam beberapa jam yang lalu, tapi Ayah Ibad baru saja tiba, Ibad telah menantinya dari tadi, tapi kali ini Ibad tak member pelukan seperti biasa. Ia gelisah. Sepertinya Ayahnya tahu gelagatnya yang seperti itu. Maka sehabis makan Ayahnya tidak langsung menyuruh Ibad membereskan piring-piring.
                “Ibad kenapa hari ini kau bertingkah aneh?” Tanya Ayah Ibad tanpa basa-basi.
                Ibad kaget. ”Maaf Ayah, tapi… er… Ayah belum menjawab pertanyaan kemarin, kapan aku boleh ikut Ayah ke dusun?”
                “ Oh, itu, kau boleh ke dusun saat umurmu 19 tahun.” Ucap Ayah Ibad sambil tertawa.
                Ibad menepuk dahinya. Kemudian membereskan piring-piring bekas makan. “Ayah, boleh aku bertanya satu lagi?” ujar Ibad dari arah dalam gua.
                “Hei, semakin besar, kau semakin banyak bertanya, Ibad.” Sahut Ayah Ibad sambil terkekeh. Ibad yang baru kembali dari kedalaman gua memasang wajah cembeut.
                “Tentu saja boleh, nak. Apa yang ingin kau tanyakan?”
                Ibad terdiam sejenak, “Apakah Ayah juga meminta kepada itu?” Ibad menunjuk kearah patung pahatan Ayahnya.
                “Tentu saja. Ada apa? Kau bertanya seprti orang tak bertuhan saja.” Jawab Ayah Ibad.
                “Bagaimana mungkin Ayah bisa menyembah patung buatan Ayah sendiri? Ia tak bisa bicara, melihat, mendengar, apalagi menolong. Sepanjang hari ini…”
                “Cukup! Kembali ke tempat tidurmu, ini sudah malam.” Potong Ayah Ibad dengan nada sedikit tinggi.
                “Aku mengerti, Ayah.” Ibad menurut saja. Ia beranjak menuju tempat tidurnya. Tapi tentu saja hatinya ingin protes.
                “Ibad, Ayah tahu kau anak yang cerdas, tapi dalam urusan tuhan kau tak pernah bisa menentang, nyatanya Ayah baik-baik saja selama menyembah patung itu. Akalmu tak akan pernah sampai memikirkannya, nak.”
                Ibad hanya diam, ia malah sudah berbaring siap untuk tidur, padahal sebenarnya ia ingin protes, tapi itu hanya memperumit keadaan. Mana mungkin Ayah baik-baik saja? Buktinya sampai sekarang dan 10 tahun lagi kita masih harus tinggal di gua. Aku tak mau menyembah benda mati itu. Gumam Ibad dalam hati. Aku hanya mau menyembah Tuhan Yang Menciptakan hewan-hewan, bumi dan langit, serta Yang Menggerakkan matahari. Lanjut Ibad kemudian terlelap karena suasana hening yang berlanjut setelah ucapan Ayahnya. Hanya ada suara jangkrik dari arah luar gua.
©©©
                Pernah Ibad bermimpi saat umurnya masih menginjak pertengehan 17 tahun, ia berada di sebuah bangunan berkubah, di dalamnya ada seorang leleki paruh baya bersurban dan bergamis, sepertinya sedang focus menjalankan ritual. Ibad hanya memandangi saat lelaki paruh baya itu mengangkat tangannya. Berdoa.
                “Ya Allah, lindungilah pemuda itu. Semoga ia dapat meluruskan kesesatan rakyat di sekitarnya. Dan jodohkanlah ia dengan putriku. Amin.” Lelaki paruh baya itu mengakhiri doanya.
                “Maaf.” Ibad memulai pembicaraan, sengaja menunggu lelaki paruh baya itu selesai berdoa. “boleh saya bertanya?”
                Lelaki pruh baya itu mengangguk.
                “Siapa Allah itu?”
                “Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Yang Mampu menghidupkan dan mematikan, menciptakan, serta menggerakkan matahari dari timur ke barat, Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa.”
                Sampai disitu terpotong. Ibad terjaga. Fajar telah terbit. Ayahnya baru saja berangkat. “Allah Tuhan Yang Esa.” Gumam Ibad. “Aku mengerti sekarang, siapa yang menggerakkan matahari, menciptakan semuanya, yang berkuasa, dan yang mengabulkan permintaan, Dialah Allah. Aku tahu sekarang, Tuhanku adalah Allah.” Ujar Ibad dengan wajah berseri-seri.
                Saat umur Ibad mencapai 19 tahun ia mulai menampakkan kebiasaan berIbadahnya di depan Ayahnya. Jika dua tahun terakhir Ibad masih sembunyi-sembunyi, tahun ini Ibad yakin, ia tak mungkin salah, ia sangat yakin. Untuk apa menyembunyikan kebenaran? Pikirnya saat ia mulai memutuskan untuk tidak lagi bermain petak umpet dalam berIbadah.
                Tahun ini Ibad tak hanya boleh masuk ke dusun sendirian, tapi ia dan Ayahnya tak lagi tinggal di dalam gua, mereka tinggal di dusun, rumah mereka sebelum Ibad dilahirkan. Ibad senang, tapi kesenangan itu tak bertahan lama, melihat masyarakat dusun yang tak jauh berbeda bengan Ayahnya, menyembah patung buatan Ayahnya. Apalgi kepala dusunnya, semakin sok saja.
©©©
                “Ayah, ada sesuatu yang ingin aku katakan, apa hari ini kau sibuk?” Tanya Ibad suatu hari.
                “Tidak. Bicaralah, Nak. Ayah akan mendengarkan sambil memahat petung-patung ini.”
                “Ini tentang… eh, aku hanya ingin mengenalkan Ayah pada Dzat, Dzat Yang menciptakan langit dan bumi, mengerakkan matahari dan segala tata surya, serta mengabulkan doa-doa, Dialah Allah. Dzat Yang Patut Disembah, Yang Maha Berkuasa.”
                Ayah Ibad hanya terdiam menyimak, tapi wajahnya memerah, terlihat menahan amarah.
                “Aku hanya ingin mengajak Ayah, mengajak kepada sesuatu yang benar. Untuk menyembah Allah, Tuhan yang sesungguhnya, Tuhan yang nyata, Yang patut disembah, Yang menghidupkan dan mematikan.” Lanjut Ibad setelah melihat tak ada tanda-tanda Ayahnya akan berkomentar.
                “Lalu apa yang harus dilakukan?” sahut Ayah Ibad dengan datar.
                “Berhentilah memahat patung-patung itu, Ayah…”
                “Tidak bisa! Kau tahu? Ayah mendapatkan pekerjaan ini dangan susah payah, sekarang kau menyuruh Ayah melapaskan begitu saja?! Tidak bisa!”
                “Tapi Ayah, selama ini Ayah berada dalam kesesatan. Lagi pula apa yangdapat dilakukan patung itu? Mereka hanya diam, tidak bicara, mendengar, melihat bernafas, mana mungkin bisa menolong?”
                “Cukup! Kau boleh tak percaya tuhanku, tapi kau tak berhak menghina! Terserah kau saja, sampai kapanpun aku tak akan menyambah Tuhanmu!!”
©©©
                Harapan Ibad mengajak Ayahnya untuk berpaling dari kesesatan pupus sudah, tak hanya sekali ia membujuk Ayahnya. Berkali-kali. Berkali-kali ia membujuk, berkali-kali pula Ayahnya menolak. Ibad memang tidak putus asa, bahkan saat Ayahnya mengancam akan mengusir. Akan tetapi Ayahnya menganggap semua itu adalah bentuk perwujudan emosi Ibad yang sudah matang untuk segera dinikahkan. Alhasil Ibad pun dinikahkan dengan seorang gadis dusun. Maka suatu malam Ibad berkata pada istrinya.
                “Sarah, maaf, aku menikahimu karena baktiku pada orang tua, aku harap kau mau percaya dan mengikuti ajaranku. Jika kau tidak bersedia, sebaiknya kita berpisah saja.”
                “Aku percaya padamu, dari pertma kau menginjakkan kaki di dusun ini.”
                “Maksudmu?”
                “Kaulah satu-satunya pemuda di dusun ini. Dulu kepala dusun memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki, tentu saja sekarang bayi itu sudah menjadi seorang pemuda. Pemuda yang akan menentang kepala dusun. Kaulah satu-satunya pemuda yang selamat, kaulah yang akan mengalahkannya ,Ibad.”
                “Apa kau juga tahu tentang ajaranku?”
                “Tentu saja. Dulu, setiap malam Ayahku berdoaagar pemuda itu menjadi suamiku agar bisa mengenalkanku kepada Tuhan yang sesungguhnya.”
                “Seperti apa Ayahmu itu? Benarkah ia sudah meninggal dua tahun yang lalu?”
                Sarah mengangguk, kemudian mengambil selembar foto.
                Ibad menatap foto tersebut. Aku mengerti sekarang orang tua inilah yang mengenalkanku pada Allah, jadi setiap malam sejak dua tahun yang lalu, dia sellu mendoakan ku. Terimakasih, Ayah.
                “Kalau begitu,” Ibad memecah kahaningan. “doakan aku, besok aku akan meluruskan semuanya, akan mengajak mereka kepada kebaikan, mengenalkan mereka kepada Tuhan yang sesungguhnya, kepada Allah. Doakan semoga aku besok baik-baik saja.”
©©©
                “Kenapa kalian menyembahnya?” Tanya Ibad kepada pemuda-pemuda yang baru saja selesai menjalankan ritual.
                Pemuda-pemuda itu menatap Ibad dengan bingung. “Kami melakukan yang diajarkan orang tua kami, apa ada yang salah?” kata salah seorang pemuda.
                “Sangat banyak, orang tua kalian dan tentu saja kalian, sedang berada dalam kesesatan yang nyata.” Jawab Ibad.
                “Hei! Apa maksudmu? Jangan sembarangan memvonis orang.”
                “Aku tidak sembarangan, memangnya apa yang bisa dilakukan yang kalian sembah? Mereka hanya diam, tidak bicara, bahkan bergerak, bagaimana bisa mereka menolong?”
                “Hei! jangan menghina tuhan kami! Memangnyaa kenapa kalau tuhan kami tidak bergerak? Kau mau apa? Ia bukan tidak bergerak, ia hanya tidak mau menampakkannya dihadapan kami!”
                “Aku hanya ingin mengenalkan kalian pada Tuhan yang sesungguhnya, Dia tidak hanya berbicara, tapi Dia Maha segalanya.”
                “Sayangnya kami tidak tertarik dengan penawaranmu, Ibad. Kami permisi. Kami sudah muak dengan omonganmu.”
                Ibad hanya menatap kepergian mereka. “Sayangnya aku tidak akan menyerah sekalipun kalian tidak tertarik dangan penawaranku.” Ibad terdiam sejenak. “Baiklah, jika tidak bisa mengunakan cara halus, akan ku coba sedikit kasar.”
©©©
                Esok harinya Ibad kembali ke tempat ritual mereka. Tanpa basa-basi Ibad masuk ke dalam ruangan itu, kemudian menghampiri salah satu dari sekian banya patung. “Kenapa tidak aku makan sesajinya?” Tanya Ibad kepada patung di hadapannya.
                Patung itu hanya diam. Beberapa orang tertolah kea rah Ibad.
                “Kenapa kau tidak menjawabnya? Apa kau tidak kasihan kepada mereka? Mereka susah payah menyiapkannya untukmu! Kenapa kau tidak memakannya?!”
                Patung itu tetap terdiam. Lebih banyak lagi orang yang menatap kea rah Ibad.
                “Jawab!! Apa kau tidak mendengarku?!” Ibad meninggikan nada suaranya sehingga sedikit berteriak.
                Seluruh isi ruangan pun menatap kearah Ibad. Tanpa banyak bicara, Ibad mengambil kapak yang sedari tadi disembunyikannya di kaos kakinya, dan menghancurkan patung yang ada di hadapannya. Seketika seluruh isi ruangan panik. Berusaha menghentikan Ibad. Tapi Ibad semakin menjadi-jadi, ia seperti orang kalap.
                “KENAPA KALIAN MASIH MEMBELA MEREKA???!!!” Ucap Ibad sambil terus menghancurkan patung-patung itu. Setelah hampir separuh patung-patung di ruangan itu tak berbentuk lagi, Ibad menghentikan yang ia kerjakan.  Kemudian ia menaruh kapak itu di leher patung yang paling besar.
                Tak berselang lama, Kepala Dusun datang. Ibad hanya menatap dengan datar tanpa ada ekspresi apa pun. Kepala Dusun langsung menghampirinya.
                “Apa yang kau lakukan kepada Tuhan-tuhan kami?”
                “Aku tak melakukan apa-apa, coba tanyakan saja pada patung yang paling besar itu, bukankah dia berkalungkan kapak?” Jawab Ibad sambil menunjuk ke arah patung yang paling besar dan mencolok.
                “Kau bodoh? Bagaimana mungkin bertanya pada patung yang tak bisa berbicara?”
                “Sudah tahu tidak bisa bicara, kenapa kalian masih menyembahnya? Kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya bodoh?”
                Kepala Dusun terbungkam. Mukanya merah padam menahan malu. “Azam! Sebaiknya kau ajari anakmu memahat patung untuk menebus gani rugi atas semua kerugian ini.” Ucap Kepal DUsun mengalihkan pembicaraan.
                “Dia bukan anakku.”
                Dan kali ini Ibad mengekspresikan kekagetannya.
©©©
                “Apa maksudmu menghancurkan patung-patung itu?” Tanya Kepala Dusun kepada Ibad malam harinya.
                “Aku tak tega melihat rakyatmu menderita karena menyembah patung-patung itu.” Ibad berhanti sejenak. “aku hanya ingin mereka tertimpa azab Allah, Tuhanku.”
                “Atas dasar apa kau menyuruh kami meninggalkan tuhan nenek moyang kami?”
                “Karena Tuhanku Maha Kuasa, ia…”
                “Aku yang paling berkuasa di sini.” Potong Kepala Dusun.
                “Tuhanku Mampu menghidupkan dan mematikan manusia.”
                “Aku pun bisa melakukannya. Aku bisa memutuskan seorang tahanan terbebas, maka ia memperoleh kehidupan baru. Begitupun sebaliknya, aku bisa saja memutuskan seorang tahanan dihukum mati.”
                “Sungguh cara yang keji.” Komentar Ibad. “Tuhanku mampu menggerakkan matahari dari timur ke barat. Karena Dia Maha Kuasa. Jika kau memang berkuasa, bisakah kau menngerakkan matahari dari barat ke timur?”
                Seketika Kepala Dusun terdiam. Sejak itu Kepala dusun mencatat dalam pikirannya bahwa Ibad dan keturunannya adalah musuh. Musuh yang paling berbaHaya. Orang yang tak diinginkan nomor satu.
©©©
                “Berkemaslah, malam ini kita pergi dari dusun ini.” Ucap Ibad kepada istrinya setelah pulang dari kediaman Kepala Dusun.
                “Kenapa?” Tanya Sarah bingung.
                “Sepertinya Kepala dusun tak akan membiarkan kita dan anak-anak kita hidup.”
                “Kalau begitu aku akan mempersiapkan bekal kita untuk beberapa hari.”
                Malam hari tiba, tapi mereka masih belum pergi meninggalkan dusun. Mereka menunggu tengah malam. Karena saat itu kemungkinan kecil para warga dusun terjaga. Sepertinya mala mini Allah melindungi mereka, suasana malam benar-benar sunyi. Seperti sengaja dilelapkan, Suasana yang tepat untuk merajut mimpi.
                Masuk tengah malam, Ibad dan Sarah keluar dari rumah melalui pintu belakang. Susana benar-benar sepi, seperti kota mati. Mereka masuk ke dalam hutan hanya bermodalkan lentera untuk menerangi jalan dan bekal yang cukup untuk mereka berdua salama tiga hari.
                “Kemana kita akan pergi?” Tanya Sarah bingung
                “Entahlah.” Jawab Ibad. “aku pikir sebaiknya kita berjalan kearah barat.”
                Sarah menurut saja. Ia tak tahu banyak tentang daerah di sekitar dusun. Tiba-tiba saja Ibad berhenti berjalan.
                “Ada apa?” Tanya Sarah.
                “Sebaiknya malam ini kita bermalam di gua itu.” Ibad menunjuk ke arah gua. Gua tempatnya dulu tinggal. Tempatnya merenung setiap hari. Tempatnya mengenal Allah pertama kali.
©©©
                Behari-hari sudah Ibad dan Sarah menempuh perjalanan, dan baru hari ini mereka menemukan sebuah dusun. Dusun Heundae. Ibad senang bukan kepalang, akhirnya ia dan istrinya dapat pergi dari dusun sesat meski itu tanah kelahirannya.
                Ibad baru tahu bahwa ternyata dusun itu tak jauh beda dengan dusunnya yang dulu, tapi orang-orang dusunnya mau menerima ajaran baru yang dibawa Ibad. Hanya saja Kepala Dusunnya yang bermasalah. Suka merebut perempuan cantik. Kebetulan sekali istrinya termasuk perempuan cantik. Kecantikannya sudah memikat sejak mereka pertama kali menginjakkan kaki di dusun ini. Hingga suatu hari Kepala Dusun dan para bodyguardnya datang ke rumahnya.
                “Kudengar saat kau pertama kali mauk dusun ini, kau beserta seorang perempuan?” Tanya Kepala Dusun Heundae tanpa basa-basi.
                Ibad mengangguk.
                “Siapa dia? Dan dimana dia sekarang?”
                “Dia adalah adikku, sekarang sedang berada di kamarnya.”
                “Bawa dia ke rumahku sekarang juga!” Ucap Kepala Dusun Heundae kepada  bodyguardnya.
                Sarah pun digiring menuju rumah Kepala Dusun Heundae.
©©©
                “Kemarilah Sarah, mari kita berpesta. Pesta penyambutanmu.” Ucap Kepala Dusun Heundae kepada Sarah. Ini sudah keberapa kalinya ia merayu Sarah. Tapi yang diajak bicara hanya diam. Tak berekspresi sebagaimana Ibad saat menghadapi Kepala Dusun mereka yang dulu.
                “Maaf tapi agamaku tak mengizinkan dua orang yang bukan muhrim saling bersentuhan.” Ucap Sarah datar.
                “Memangnya agama apa yang kau anut?” Tanya Kepala Dusun Heundae sedikit sebal.
                “Aku menganut agama Allah, agama yang benar dari dulu, sekarang, dan tentu esok hari.”
                “Terserah kau sajalah.” Kepala Dusun Heundae benar-benar bosan. Ia pun meninggalkan Sarah sendirian di ruang besar yang disebut Kepala Dusun Heundae kamar untuk Sarah.
©©©
                “Sebagai kepala dusun seharusnya kau memahami keinginan rakyatmu. Bukan malah membuat mereka sengsara karena peraturan yang kau buat.” Ucap seorang lelaki paruh baya kepada Kepala Dusun Heundae.
                “Siapa kau?” Tanya Kepala Dusun Heundae kebingungan.
                “Kau tak akan pernah mengenalku, jadi kau tak perlu tahu siapa aku.” Jawab lelaki itu. “Aku hanya ingin memberitahukan padamu bahwa perempuan yang kau culik telah bersuami. Dan Allah tak akan mengizinkanmu menyentuhnya. Dia adalah Hamba Allah.”
                “Apa maksudmu?” Kepala Dusun Heundae tetap tidak mengerti.
                “Mereka tak pantas kau bodohi dengan peraturan yang hanya melihat nafsumu semata. Mereka adalah orang yang datang dengan hati lurus untuk meluruskan paham kalian yang sesat. Kalau kau tidak percaya. Coba lihat mereka malam ini, aku yakin mereka tak tidur karena ulahmu.”
                Kepala Dusun Heundae terjaga. Masih tengah malam. Mimpi yang aneh, aku tak pernah bermimpi seperti ini sebelumnya. Tiba-tiba Kepala Dusun Heundae ingin membuktikan mimpinya barusan, ia pun berjalan menujunkamar Sarah. Sampai disana Kepala Dusun Heundae terkaget. Ternyata benar. Sarah belum tidur, Kepala Dusun Heundae mengurungkan niatnya untuk masuk kekamar Sarah, ia hanya menunggu di depan kamar Sarah sambil mendengarkan apa yang kira-kira dilakukan Sarah malam-malam begini.
                “Ya Allah lindungilah aku dan suamiku dari segala kejahatan, peliharalah aku agar kesucian ini tetap untuk suamiku. Bukakanlah hati Kepala Dusun Heundae agar ia mau mendengar ajaran yang kami bawa. Serta ampunilah dosa-dosa rakyat dusun ini. Amiiin”
                Entah kenapa tiba-tiba Kepala Dusun Heundae ingin menangis. Dan akhirnya ia pun menangis.
©©©
                Esok harinya Sarah dipanggil untuk menghadap Kepala Dusun Heundae. Sarah datang dengan wajah kumal. Habis menangis semalaman. “Aku tahu kau menangis tadi malam.”
                Sarah hanya diam tanpa ekspresi.
                “Maafkan aku menculikmu dari suamimu. Aku sadar aku salah, jadi berbahagialah. Pagi ini aku akan mengembalikanmu kepada suamimu.”
                “Benarkah?” inilah pertama kalinya Sarah bersuara.
                Kepala Dusun Heundae mengangguk. “Sebagai permintaan maafku, aku akan memberi satu pembantu perempuanku. Silahkan pilih, dia yang akan mengantarmu pulang pagi ini.
                Sarah pun kembali kepada suaminya bersama Haya, pembantu Kepala Dusun Heundae yang paling muda, masih remaja. Suaminya menyambut mereka dengan haru. Tak henti-hentinya mereka mengucap syukur kepada Allah.
©©©
Bertahun-tahun sudah Ibad dan keluarganya tinggal di dusun heundae. Mereka menetap disana. Kepala dusunnya tak lagi bersifat seperti dulu. Masyarakatnya pun bersahabat. Bertahun-tahun Ibad meninggalkan dusun kelahirannya, bertahun-tahun Ibad tak mendengar kabar tentang Ayahnya, bertahun-tahun Ibad menjalin rumah tangga, bertahun-tahun pula rumah tangganya tak sekalipun dikaruniai buah hati.
Sarah sebagai istri tentu saja yang paling sedih karena dianggap mandul dan tak dapat memberikan keturunan, apalagi setiap kali melihat suaminya muram mengharapkan adanya seorang anak diantara mereka.
“Ibad, sebaiknya kau nikahi Haya.” Ujar Sarah suatu hari.
“Apa maksudmu? Kau menyuruhku untuk poligami? Tidak! Aku tidak mau.” Tolak Ibad.
“Tapi kau butuh keturunan, aku dan tentu kau sudah semakin tua, aku tak mungkin melahirkan seorang anak, aku sudah terlalu tua untuk mengandung. Dan kau, kau butuh penerus untuk meneruskan ajaranmu.”
“Tapi apakah menikahi Haya adalah jalan satu-satunya?” Ibad masih berusaha menolak.
“Mungkin ada cara lain, tapi inilah yang paling mudah.” Sarah terdiam. “kalau kau memang menganggapku istri, nikahi Haya.”
Ibad mengangguk pelan sekali, jika tak diperhatikan baik-baik, mungkin tidak kentara.
©©©
Penikahan pun dilangsungkan. Selang beberapa bulan ternyata Haya dikabarkan hamil. Semua ikut bergembira tak terkecuali Kepala Dusun Heundae, Ibad sudah berkali-kali mengucapkan kepada setiap warga yang lewat ‘aku akan menjadi seorang ayah’. Sarah dan Haya hanya tersenyum melihat kelakuan suami mereka.
Sembilan bulan berlalu, akhirnya Haya melahirkan seorang anak laki-laki bernama Iklil. Semua ditumbuhi perasaan senang. Tak terkecuali Sarah. Tapi kesenangan itu tak bertahan lama. Semakin hari, saat melihat wajah Iklil Sarah merasa sadih karena ia sadar kelemahannya ada pada anak.
“Tolong pindahkan mereka ke tempat yang tidak kuketahui.” Ucap Sarah pada Ibad suatu hari.
“Tapi kenapa?” Ibad tersentak kaget.
“kalau kau memang menganggapku istri, pindahkan mereka. Jika tidak, kita berpisah.”
Ibad menyandarkan kepalanya kesndaran kursi. Sarah, dia selalu saja membuat Ibad tak punya pilihan.
©©©
“Kenapa kau meninggalkan kami disini, Ibad? Apa ku tidak kasihan kepada Iklil? Dia masih terlalu kecil untuk hidup di hutan.”
“Maaf Haya, tapi aku tak punya pilihan.” Ibad mencium wajah Iklil, kemudian mengelus wajah Haya. “Aku janji suatu saat aku akan menjemputmu disini, aku janji Haya. Aku mohon jangan menangis dihadapan anak kita. Tunggu aku. Aku pasti akan menjemputmu.”
©©©
Wildy Tabassum
(terinspirasi dari kisah Nabi Ibrahim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar